Senin, 25 November 2013

PERUSAHAAN YANG TELAH MENERAPKAN UTILITARIANISME


NAMA       : TAUFIK DARMAWAN
KELAS      : 3EA10
NPM           : 19210434

Perusahaan yang Telah Menerapkan Utilitarianisme atau CSR

ETIKA PERUSAHAAN UTILITARIANISME (#SOFTSKILL)

Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Persoalan yang dihadapi oleh Bentham dan orang-orang sezamannya adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral. Singkatnya, bagaimana menilai sebuah kebijaksanaan publik, yaitu kebijaksanaan yang punya dampak bagi kepentingan banyak orang, secara moral.

1. Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme
Criteria pertama adalah manfaat , yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi, kebijaksanaan atau tindakan yang baik adalah yang menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu.
Criteria kedua adalah manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar (atau dalam situasi tertentu lebih besar)dibandingkan dengan kebijaksanaan atau tindakan alternative lainnya.
Criteria ketiga adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, yaitu dengan kata lain suatu kebijaksanaan atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis menurut etika utilitarianisme adalah kebijaksanaan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau sebaliknya membawa akibat merugikan yang sekecil mungkin bagi sedikit mungkin orang.
Secara padat ketiga prinsip itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu mendatangkan keuntungan sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang.

2. Nilai Positif Etika Utilitarianisme
a)   Rasionalitas, prinsip moral yang diajukan oleh etika utilitarianisme ini tidak didasarkan pada aturan-aturan kaku yang mungkin tidak kita pahami dan yang tidak bias kita persoalkan keabsahannya.
b)   Dalam kaitannya dengan itu, utilitarianisme sangant menghargai kebebasan setiap pelaku moral. Setiap orang dibiarkan bebas untuk mengambil keputusan dan bertindak dengan hanya memberinya ketiga criteria objektif dan rasional tadi.
c)    Universalitas, yaitu berbeda dengan etika teleologi lainnya yang terutama menekankan manfaat bagi diri sendiri atau kelompok sendiri, utilitarianisme justru mengutamakan manfaat atau akibat baik dari suatu tindakan bagi banyak orang.

 3.Utilitarianisme sebagai Proses dan sebagai Standar Penilaian
a)   Etika utilitarianisme dipakai sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan, kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak. Dengan kata lain, etika utilitarianisme dipakai sebagai prosedur untuk mengambil keputusan. Ia menjadi sebuah metode untuk bisa mengambil keputusan yang tepat tentang tindakan atau kebijaksanaan yang akan dilakukan.
b)   Etika utilitarianisme juga dipakai sebagai standar penilaian bai tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan. Dalam hal ini, ketiga criteria di atas lalu benar-benar dipakai sebagai criteria untuk menilai apakah suatu tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan memang baik atau tidak. Yang paling pokok adalah menilai tindakan atau kebijaksanaan yang telah terjadi berdasarkan akibat atau konsekuensinya yaitu sejauh mana ia mendatangkan hasil terbaik bagi banyak orang.

4. Analisis Keuntungan dan Kerugian
Pertama, keuntungan dan kerugian (cost and benefits) yang dianalisis jangan semata-mata dipusatkan pada keuntungan dan kerugian bagi perusahaan,  kendati benar bahwa ini sasaran akhir. Yang juga perlu mendapat perhatian adalah keuntungan dan kerugian bagi banyak pihak lain yang terkait dan berkepentingan, baik kelompok primer maupun sekunder. Jadi, dalam analisis ini perlu juga diperhatikan bagaimana daan sejauh mana suatu kebijaksanaan dan kegiatan bisnis suatu perusahaan  membawa akibat yang menguntungkan dan merugikan bagi kreditor, konsumen, pemosok, penyalur, karyawan, masyarakat luas, dan seterusnya. Ini berarti etika utilitarianisme sangat sejalan dengan apa yang telah kita bahas sebagai pendekatan stakeholder.
Kedua, seringkali terjadi bahwa analisis keuntungan dan kerugian ditempatkan dalam kerangka uang (satuan yang sangat mudah dikalkulasi). Yang juga perlu mendapat perhatian serius adalah bahwa keuntungan dan kerugian disini tidak hanya menyangkut aspek financial, melainkan juga aspek-aspek moral; hak dan kepentingan konsimen, hak karyawan, kepuasan konsumen, dsb. Jadi, dalam kerangka klasik etika utilitarianisme, manfaat harus ditafsirkan secara luas dalam kerangka kesejahteraan, kebahagiaan, keamanan sebanyak mungkin pihhak terkait yang berkepentingan.
Ketiga¸bagi bisnis yang baik, hal yang juga mendapat perhatian dalam analisis keuntungan dan kerugian adalah keuntungan dan kerugian dalam jangka panjang. Ini penting karena bias saja dalam jangka pendek sebuah kebijaksanaan dan tindakan bisnis tertentu sangat menguntungkan, tapi ternyata dalam jangka panjang merugikan atau paling kurang tidak memungkinkan perusahaan itu bertahan lama. Karena itu, benefits yang menjadi sasaran utama semua perusahaan adalah long term net benefits.
Sehubungan dengan ketiga hal tersebut, langkah konkret yang perlu dilakukan dalam membuat sebuah kebijaksanaan bisnis adalah mengumpulkan dan mempertimbangkan alternative kebijaksanaan bisnis sebanyak-banyaknya. Semua alternative kebijaksanaan dan kegiatan itu terutama dipertimbangkan dan dinilai dalam kaitan dengan manfaat bagi kelompok-kelompok terkait yang berkepentingan atau paling kurang, alternatif yang tidak merugikan kepentingan semua kelompok terkait yang berkepentingan. Kedua, semua alternative pilihan itu perlu dinilai berdasarkan keuntungan yang akan dihasilkannya dalam kerangka luas menyangkut aspek-aspek moral. Ketiga, neraca keuntungan dibandingkan dengan kerugian, dalam aspek itu, perlu dipertimbagkan dalam kerangka jangka panjang. Kalau ini bias dilakukan, pada akhirnya ada kemungkinan besar sekali bahwa kebijaksanaan atau kegiatan yang dilakukan suatu perusahaan tidak hanya menguntungkan secara financial, melainkan juga baik dan etis.

Kelemahan Etika Utilitarianisme
a. Manfaat merupakan konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis akan menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit.
b. Etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan niali suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya.
c. Etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius kemauan baik seseorang.
d. Variable yang dinilai tidak semuanya dapat dikualifikasi.
e. Seandainya ketiga criteria dari etika utilitarianisme saling bertentangan, maka akan ada kesulitan dalam menentukan prioritas di antara ketiganya.
f. Etika utilitarianisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan mayoritas.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau CSR (corporate social responsibility)

kini jadi frasa yang semakin populer dan marak diterapkan perusahaan di berbagai belahan dunia. Menguatnya terpaan prinsip good corporate governance seperti fairness, transparency, accountability, dan responsibility telah mendorong CSR semakin menyentuh “jantung hati” dunia bisnis.

Di tanah air, debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No. 40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).

Namun, UU PT tidak menyebutkan secara terperinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3, dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR “dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran.” PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diatur oleh peraturan pemerintah yang hingga kini belum dikeluarkan.

Akibatnya, standar operasional mengenai bagaimana menjalankan dan mengevaluasi kegiatan CSR masih diselimuti kabut misteri. Selain sulit diaudit, CSR juga menjadi program sosial yang “berwayuh” wajah dan mengandung banyak bias.

Banyak perusahaan yang hanya membagikan sembako atau melakukan sunatan massal setahun sekali telah merasa melakukan CSR. Tidak sedikit perusahaan yang menjalankan CSR berdasarkan copy-paste design atau sekadar “menghabiskan” anggaran. Karena aspirasi dan kebutuhan masyarakat kurang diperhatikan, beberapa program CSR di satu wilayah menjadi seragam dan seringkali tumpang tindih.

Walhasil, alih-alih memberdayakan masyarakat, CSR malah berubah menjadi Candu (menimbulkan kebergantungan pada masyarakat), Sandera (menjadi alat masyarakat memeras perusahaan), dan Racun (merusak perusahaan dan masyarakat).

Perusahaan yang Telah Menerapkan Utilitarianisme atau CSR

Sejak didirikan pada 5 Desember 1933Unilever Indonesia telah tumbuh menjadi salah satu perusahaan terdepan untuk produk Home and Personal Care serta Foods & Ice Cream di Indonesia. Rangkaian Produk Unilever Indonesia mencangkup brand-brand ternama yang disukai di dunia seperti Pepsodent, Lux, Lifebuoy, Dove, Sunsilk, Clear, Rexona, Vaseline, Rinso, Molto, Sunlight, Walls, Blue Band, Royco, Bango, dan lain-lain.

Selama ini, tujuan perusahaan kami tetap sama, dimana kami bekerja untuk menciptakan masa depan yang lebih baik setiap hari; membuat pelanggan merasa nyaman, berpenampilan baik dan lebih menikmati kehidupan melalui brand dan jasa yang memberikan manfaat untuk mereka maupun orang lain; menginspirasi masyarakat untuk melakukan tindakan kecil setiap harinya yang bila digabungkan akan membuat perubahan besar bagi dunia; dan senantiasa mengembangkan cara baru dalam berbisnis yang memungkinkan kami untuk tumbuh sekaligus mengurangi dampak lingkungan.

Saham perseroan pertamakali ditawarkan kepada masyarakat pada tahun 1981 dan tercatat di Bursa Efek Indonesia seja 11 Januari 1982. Pada akhir tahun 2011, saham perseroan menempati peringkat keenam kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia. Cleaning productPerseroan memiliki dua anak perusahaan : PT Anugrah Lever (dalam likuidasi), kepemilikan Perseroan sebesar 100% (sebelumnya adalah perusahaan patungan untuk pemasaran kecap) yang telah konsolidasi dan PT Technopia Lever, kepemilikan Perseroan sebesar 51%, bergerak di bidang distribusi ekspor, dan impor produk dengan merek Domestos Nomos.

Bagi Unilever, sumber daya manusia adalah pusat dari seluruh aktivitas perseroan. Kami memberikan prioritas pada mereka dalam pengembangan profesionalisme, keseimbangan kehidupan, dan kemampuan mereka untuk berkontribusi pada perusahaan. Terdapat lebih dari 6000 karyawan tersebar di seluruh nutrisi.
Perseroan mengelola dan mengembangkan bisnis perseroan secara bertanggung jawab dan berkesinambungan. Nilai-nilai dan standar yang Perseroan terapkan terangkum dalam Prinsip Bisnis Kami. Perseroan juga membagi standar dan nilai-nilai tersebut dengan mitra usaha termasuk para pemasok dan distributor kami. Perseroan memiliki enam pabrik di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang, Bekasi, dan dua pabrik di Kawasan Industri Rungkut, Surabaya, Jawa Timur, dengan kantor pusat di Jakarta. Produk-produk Perseroan berjumlah sekitar 43 brand utama dan 1,000 SKU, dipasarkan melalui jaringan yang melibatkan sekitar 500 distributor independen yang menjangkau ratusan ribu toko yang tersebar di seluruh Indoneisa. Produk-produk tersebut didistribusikan melalui pusat distribusi milik sendiri, gudang tambahan, depot dan fasilitas distribusi lainnya.

Sebagai perusahaan yang mempunyai tanggung jawab sosial, Unilever Indonesia menjalankan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang luas. Keempat pilar program kami adalah Lingkungan, Nutrisi, Higiene dan Pertanian Berkelanjutan. Program CSR termasuk antara lain kampanye Cuci Tangan dengan Sabun (Lifebuoy), program Edukasi kesehatan Gigi dan Mulut (Pepsodent), program Pelestarian Makanan Tradisional (Bango) serta program Memerangi Kelaparan untuk membantu anak Indonesia yang kekurangan gizi (Blue Band).

Unilever Indonesia Memiliki Visi :

Empat pilar utama dari visi kami menggambarkan arah jangka panjang dari perusahaan  kemana tujuan kami dan bagaimana kami menuju ke arah sana.
     a) Kami bekerja untuk membangun masa depan yang lebih baik setiap hari
     b) Kami membantu orang-orang merasa nyaman, berpenampilan baik dan lebih menikmati kehidupan dengan brand dan pelayanan yang baik bagi mereka dan bagi orang lain.
     c) Kami menjadi sumber inspirasi orang-orang untuk melakukan hal kecil setiap hari yang dapat membuat perbedaan besar bagi dunia
     d) Kami akan mengembangkan cara baru dalam melakukan bisnis dengan tujuan membesarkan perusahaan kami dua kali lipat sambil mengurangi dampak lingkungan

Kami selalu percaya akan kekuatan brand kami dalam meningkatkan kualitas kehidupan orang-orang dan dalam melakukan hal yang benar. Semakin bertumbuhnya bisnis kami, meningkat pula tanggung jawab kami. Kami mengenali tantangan global seperti perubahan iklim yang menjadi kepedulian kita bersama. Mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari tindakan kami selalu menyatu dalam nilai-nilai kami dan merupakan bagian fundamental mengenai siapa diri kami.


5.  Jalan Keluar
Tanpa ingin memasuki secara lebih mendalam persoalan ini, ada baiknya kita secara khusus mencari  beberapa jalan keluar yang mungkin berguna bagi bisnis dalam menggunakan etika utilitarianisme yang memang punya daya tarik istimewa ini. Yang perlu diakui adalah bahwa tidak mungkin mungkin kita memuaskan semua pihak secara sama dengan tingkat manfaat yang sama isi dan bobotnya. Hanya saja, yang  pertama-tama harus dipegang adalah bahwa kepentingan dan hak semua orang harus diperhatikan, dihormati, dan diperhitungkan secara sama. Namun, karena kenyataan bahwa kita tidak bisa memuaskan semua pihak secara sama dengan tingkat manfaat yang sama isi dan bobotnya, dalam situasi tertentu kita memang terpaksa harus memilih di antara alternative yang tidak sempurna itu. Dalam hal ini, etika utilitarianisme telah menberi kita criteria paling objektif dan rasional untuk memilih diantara berbagai alternative yang kita hadapi, kendati mungkin bukan paling sempurna.
Karena itu, dalam situasi di mana kita terpaksa mengambil kebijaksanaan dan tindakan berdasarkan etika utilitarianisme, yang mengandung beberapa kesulitan dan kelemahhan tersebut di atas, beberapa hal ini kiranya perlu diperhatikan.
a) Dalam banyak hal kita perlu menggunakan perasaan atau intuisi moral kita untuk mempertimbangkan secara jujur apakah tindakan yang kita ambil itu, yang memenuhi criteria etika utilitarianisme diatas, memang manusiawi atau tidak.
b) Dalam kasus konkret di mana kebijaksanaan atau tindakan bisnis tertentu yang dalam jangka panjang tidak hanya menguntungkan perusahaan tetapi juga banyak pihak terkait, termasuk secara moral, tetapi ternyata ada pihak tertentu yang terpaksa dikorbankan atau dirugikan secara tak terelakkan, kiranya pendekatan dan komunikasi pribadi akan merupakan sebuah langkah yang punya nilai moral tersendiri.

Senin, 04 November 2013

E-COMMERCE DALAM KEJAHATAN BISNIS ( #SOFTSKILL )


PELANGGARAN ETIKA KORPORASI DALAM BIDANG KOMPUTER

E-COMMERCE DALAM KEJAHATAN BISNIS

A. Pengertian e-commerce
Definisi dari “E-Commerce” sendiri sangat beragam, tergantung dari perspektif atau kacamata yang memanfaatkannya. Association for Electronic Commerce secara sederhana mendifinisikan E-Commerce sebagai “mekanisme bisnis secara elektronis”. CommerceNet, sebuah konsorsium industri, memberikan definisi yang lebih lengkap, yaitu “penggunaan jejaring komputer (komputer yang saling terhubung) sebagai sarana penciptaan relasi bisnis”. Tidak puas dengan definisi tersebut, CommerceNet menambahkan bahwa di dalam E-Commerce terjadi “proses pembelian dan penjualan jasa atau produk antara dua belah pihak melalui internet atau pertukaran dan distribusi informasi antar dua pihak di dalam satu perusahaan dengan menggunakan intranet”.
E-Commerce sebagai “suatu jenis dari mekanisme bisnis secara elektronis yang memfokuskan diri pada transaksi bisnis berbasis individu dengan menggunakan internet sebagai medium pertukaran barang atau jasa baik antara dua buah institusi maupun antar institusi dan konsumen langsung”. Beberapa kalangan akademisi pun sepakat mendefinisikan E-Commerce sebagai “salah satu cara memperbaiki kinerja dan mekanisme pertukaran barang, jasa, informasi, dan pengetahuan dengan memanfaatkan teknologi berbasis jaringan peralatan digital.
Perkembangan teknologi informasi terutama internet, merupakan faktor pendorong perkembangan e-commerce. Internet merupakan jaringan global yang menyatukan jaringan komputer di seluruh dunia, sehingga memungkinkan terjalinnya komunikasi dan interaksi antara satu dengan yang lain diseluruh dunia. Dengan menghubungkan jaringan komputer perusahaan dengan internet, perusahaan dapat menjalin hubungan bisnis dengan rekan bisnis atau konsumen secara lebih efisien. Sampai saat ini internet merupakan infrastruktur yang ideal untuk menjalankan e-commerce, sehingga istilah E-Commerce pun menjadi identik dengan menjalankan bisnis di internet.
Pertukaran informasi dalam E-Commerce dilakukan dalam format dijital sehingga kebutuhan akan pengiriman data dalam bentuk cetak dapat dihilangkan. Dengan menggunakan sistem komputer yang saling terhubung melalui jaringan telekomunikasi, transaksi bisnis dapat dilakukan secara otomatis dan dalam waktu yang singkat. Akibatnya informasi yang dibutuhkan untuk keperluan transaksi bisnis tersedia pada saat diperlukan. Dengan melakukan bisnis secara elektronik, perusahaan dapat menekan biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan pengiriman informasi. Proses transaksi yang berlangsung secara cepat juga mengakibatkan meningkatnya produktifitas perusahaan.
Dengan menggunakan teknologi informasi, E-Commerce dapat dijadikan sebagai solusi untuk membantu perusahaan dalam mengembangkan perusahaan dan menghadapi tekanan bisnis. Tingginya tekanan bisnis yang muncul akibat tingginya tingkat persaingan mengharuskan perusahaan untuk dapat memberikan respon. Penggunaan E-Commerce dapat meningkatkan efisiensi biaya dan produktifitas perusahaan, sehingga dapat meningkatkan kemampuan perusahaan dalam bersaing.
Dalam e-commerce, sistem pembayaran yang diguanakan adalah antara lain menggunakan :
1) Tunai atau electronic cash.
2) Sistem debit.
3) Sistem kredit
4) Digital Cash
5) CyberCash
6) First Virtual
7) NetChex
8). E-Gold

B. Permasalahan Mendasar dalam e-commerce.
Permasalahan-permasalahan yang mendasar dalam e-commerce adalah sebagai berikut :
1. Permasalahan yang bersifat substantif :
a). Keaslian data message dan digital signature.
b). Keabsahan (Validity).
c.). Kerahasiaan (Privacy)
d). Keamanan (Security)
e). Ketersediaan (availability).

2. Permasalahan yang bersifat prosedural.
Yaitu pengakuan dan daya mengikat putusan hakim dari negara lain untuk diberlakukan dan dilaksanakan di negeri lawan, sekalipun hal ini memakai instrumen-instrumen internasional.
Sepanjang menyangkut permasalahan-permasalahan pidana, suatu negara memiliki jurisdiksi sebagai berikut :
a).  Jurisdiksi dengan prinsip teritorial yaitu setiap negara mempunyai jurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan diwilayahnya, terhadap setiap orang dan setiap benda yang berada dalam wilayahnya.
b). Jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan atau kebangsaan
c).  Jurisdiksi berdasarkan perlingdungan kepentingan penting negara. Berdasarkan prinsip ini, suatu negara dapat melaksanakan jurisdiksinya terhadap warga negara lain yang melakukan kejahatan di luar negeri yang bisa mengancam kepentingan keamanan, kemerdekaan dan integritasnya.
d).  Yurisdiksi Universal, yaitu bahwa setiap negara mempunyai jurisdiksi untuk mengadili tindak kejahatan tertentu apabila kejahatan tersebut mengancam atau memiliki karakter membahayakan rakyat internasional tanpa melihat siapa pelaku,

Contoh Kasus  dalam e-Commerce :

Dalam beberapa dekade terakhir ini, banyak sekali perbuatan-perbuatan pemalsuan (forgery) terhadap surat-surat dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan bisnis. Perbuatan-perbuatan pemalsuan surat itu telah merusak iklim bisnis di Indonesia. Dalam KUH Pidana memang telah terdapat Bab khusus yaitu Bab XII yang mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan pemalsuan surat, tetapi ketentuan-ketentuan tersebut sifatnya masih sangat umum.  Pada saat ini surat-surat dan dokumen-dokumen yang dipalsukan itu dapat berupa electronic document yang dikirimkan atau yang disimpan di electronic files badan-badan atau institusi-institusi pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Seyogyanya Indonesia memiliki ketentuan-ketentuan pidana khusus yang berkenaan dengan pemalsuan surat atau dokumen dengan membeda-bedakan jenis surat atau dokumen pemalsuan, yang merupakan lex specialist di luar KUH Pidana.
Di Indonesia pernah terjadi kasus cybercrime yang berkaitan dengan kejahatan bisnis, tahun 2000 beberapa situs atau web Indonesia diacak-acak oleh cracker yang menamakan dirinya Fabianclone dan naisenodni. Situs tersebut adalah antara lain milik BCA, Bursa Efek Jakarta dan Indosatnet (Agus Raharjo, 2002.37).
Selanjutnya pada bulan September dan Oktober 2000, seorang craker dengan julukan fabianclone berhasil menjebol web milik Bank Bali. Bank ini memberikan layanan internet banking pada nasabahnya. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan mengakibatkan terputusnya layanan nasabah (Agus Raharjo 2002:38).
Kejahatan lainnya yang dikategorikan sebagai cybercrime dalam kejahatan bisnis adalah Cyber Fraud, yaitu kejahatan yang dilakukan dengan melakukan penipuan lewat internet, salah satu diantaranya adalah dengan melakukan kejahatan terlebih dahulu yaitu mencuri nomor kartu kredit orang lain dengan meng-hack atau membobol situs pada internet.
Menurut riset yang dilakukan perusahaan Security Clear Commerce yang berbasis di Texas, menyatakan Indonesia berada di urutan kedua setelah Ukraina (Shintia Dian Arwida. 2002).
Cyber Squalling, yang dapat diartikan sebagai mendapatkan, memperjualbelikan, atau menggunakan suatu nama domain dengan itikad tidak baik atau jelek. Di Indonesia kasus ini pernah terjadi antara PT. Mustika Ratu dan Tjandra, pihak yang mendaftarkan nama domain tersebut (Iman Sjahputra, 2002:151-152).
Satu lagi kasus yang berkaitan dengan cybercrime di Indonesia, kasus tersebut diputus di Pengadilan Negeri Sleman dengan Terdakwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok. Dalam kasus tersebut, terdakwa didakwa melakukan Cybercrime. Dalam amar putusannya Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok telah membobol kartu kredit milik warga Amerika Serikat, hasil kejahatannya digunakan untuk membeli barang-barang seperti helm dan sarung tangan merk AGV. Total harga barang yang dibelinya mencapai Rp. 4.000.000,- (Pikiran Rakyat, 31 Agustus 2002).
Namun, beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan cybercrime dalam kejahatan bisnis jarang yang sampai ke meja hijau, hal ini dikarenakan masih terjadi perdebatan tentang regulasi yang berkaitan dengan kejahatan tersebut. Terlebih mengenai UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronika yang sampai dengan hari ini walaupun telah disahkan pada tanggal 21 April 2008 belum dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk sebagai penjelasan dan pelengkap terhadap pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
Disamping itu banyaknya kejadian tersebut tidak dilaporkan oleh masyarakat kepada pihak kepolisian sehingga cybercrime yang terjadi hanya ibarat angin lalu, dan diderita oleh sang korban.

A. KESIMPULAN
1. Definisi dari “E-Commerce” sendiri sangat beragam, tergantung dari perspektif atau kacamata yang memanfaatkannya. Association for Electronic Commerce secara sederhana mendifinisikan E-Commerce sebagai “mekanisme bisnis secara elektronis”. CommerceNet, sebuah konsorsium industri, memberikan definisi yang lebih lengkap, yaitu “penggunaan jejaring komputer (komputer yang saling terhubung) sebagai sarana penciptaan relasi bisnis”. Tidak puas dengan definisi tersebut, CommerceNet menambahkan bahwa di dalam E-Commerce terjadi “proses pembelian dan penjualan jasa atau produk antara dua belah pihak melalui internet atau pertukaran dan distribusi informasi antar dua pihak di dalam satu perusahaan dengan menggunakan intranet”.
2. Permasalahan –permasalahan yang mendasar dalam  e-commerce antara lain :
Pertama, di dalam dunia maya, virtualisasi merupakan konsep utama yang mendasari bentuk dan struktur sebuah perusahaan. Di dalam perusahaan virtual, aset-aset yang bersifat fisik sedapat mungkin ditiadakan. Para pelanggan yang ada di seluruh dunia tidak berhadapan dengan institusi melalui transaksi fisik yang melibatkan bangunan, orang, dan benda-benda riil lainnya, melainkan hanya berhadapan dengan sebuah situs elektronik. Cukup dengan uang $35 setahun (untuk memesan sebuah domain alamat), sebuah perusahaan dapat berdiri dan menawarkan jasa atau produknya ke berbagai negara, tanpa harus dibebani dengan berbagai urusan administratif. Penerapan pasal-pasal cyberlaw yang mempersulit pendirian sebuah perusahaan akan mengurangi niat pemain-pemain baru untuk mendirikan perusahaan virtual, yang artinya akan membuat lesu industri di dunia maya.
Kedua, model bisnis yang diterapkan cenderung menghilangkan segala bentuk mediasi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena melalui jaringan internet, individu dapat dengan mudah melakukan transaksi dengan individu lain (atau antar perusahaan) secara cepat. Fenomena ini adalah bentuk sederhana dari sebuah pasar bebas dimana kedua pihak yang bertransaksi secara sadar melakukan pertukaran jasa atau produk dengan resiko yang disadari bersama. Penerapan pasal-pasal cyberlaw yang mengurangi keuntungan maksimum yang selama ini didapatkan oleh kedua belah pihak yang melakukan transasksi akan berakibat berkurangnya frekuensi dan volume bisnis di internet.
Ketiga, batasan antara produsen dan konsumen menjadi kabur. Istilah yang berkembang adalah “prosumer” karena model bisnis yang ada di dunia maya memungkinkan seseorang untuk menjadi produsen dan konsumen pada saat yang bersamaan (seperti kasus keanggotaan American Online, E-Groups, Geocities, dsb.). Penerapan pasal-pasal cyberlaw yang mendasarkan diri pada sistem ekonomi konvensional (seperti hukum permintaan dan penawaran) akan mencegah tumbuhnya berbagai model bisnis yang selama ini menjadi daya tarik dan keunggulan dari dunia maya.
Keempat, adalah suatu kenyataan bahwa sebuah perusahaan virtual tidak dapat mengerjakan seluruh bisnisnya sendiri, melainkan harus melakukan kerja sama dengan berbagai perusahaan virtual lainnya (seperti merchants, content providers, technology vendors, dsb.). Hal ini berakibat adanya ketergantungan antar perusahaan di internet yang sangat tinggi. Penerapan pasal-pasar cyberlaw yang mempermudah sebuah perusahaan untuk gulung tikar akan berakibat runtuhnya bisnis beberapa perusahaan lain yang bergantung padanya.
Kelima, sumber daya utama yang mutlak dibutuhkan dalam proses penciptaan produk dan jasa adalah pengetahuan (knowledge). Karena pengetahuan pada dasarnya melekat pada sumber daya manusia (unsur-unsur kreativitas, intelektualitas, emosional, dsb.), tidak mengenal batasan negara, dan mudah dipertukarkan maupun dikomunikasikan, maka segala bentuk proteksi menjadi tidak relevan dan efektif untuk diterapkan. Penerapan pasal-pasal cyberlaw yang bersifat membatasi dan mengekang individu untuk mempergunakan atau mempertukarkan pengetahuan yang dimilikinya akan berdampak berkurangnya jenis produk atau jasa yang mungkin diciptakan.
Dari kelima prinsip utama di atas terlihat bahwa perumusan dan pengembangan cyberlaw harus dilakukan secara ekstra hati-hati. Dunia maya merupakan satu-satunya arena bisnis saat ini yang telah menerapkan konsep pasar bebas dan globalisasi informasi secara hampir sempurna. Keberadaan cyberlaw pada dasarnya sangat dibutuhkan bukan semata-mata untuk melindungi hak-hak konsumen atau menegakkan keadilan dalam aturan main bisnis, namun lebih jauh untuk mencegah terjadinya “chaos” di dunia maya. Karena walau bagaimanapun, kekacauan di dunia maya akan berdampak secara langsung terhadap kehidupan manusia di dunia nyata.
3.  Penerapan cyberlaw yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ekonomi digital dapat berakibat tidak berkembangnya model transaksi bisnis modern ini. Pemikiran mengenai cyberlaw ada baiknya untuk mulai dibuka dan dipandang serius. Hal ini sangat perlu dilakukan mengingat banyaknya para praktisi hukum, manajemen, bisnis, dan teknologi informasi yang ingin buru-buru menyusun dan membuat konsepnya tanpa pemahaman yang lengkap dan memadai mengenai konsep perdagangan elektronik, atau yang lebih dikenal sebagai e-commerce. Gagal memahami dan mengerti mengenai bagaimana konsep bisnis di dunia maya terjadi dapat membuat keberadaan cyberlaw menjadi kontraproduktif. Implementasi cyberlaw yang pada mulanya ditujukan untuk menggairahkan bisnis e-commerce tidak mustahil malah berdampak sebaliknya, yaitu mematikan pertumbuhan konsep bisnis yang sedang menjadi trend di berbagai belahan dunia. E-commerce merupakan salah satu varian dari e-business yang hanya akan secara efektif beroperasi jika prinsip-prinsip ekonomi digital dipenuhi.
4. Kasus-kasus cybercrime dalam bidang e-commerce sebenarnya banyak sekali terjadi, namun ditengah keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia dibidang penyelidikan dan penyidikan, banyak kasus-kasus yang tidak terselesaikan bahkan tidak sempat dilaporkan oleh korban.

Penyelesaian Menurut Saya :
Teknologi telah berkembang pesat dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk bisnis. Perkembangan teknologi komputer, telekomunikasi dan informasi telah berjalan sedemikian rupa, sehingga kondisi pada saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan beberapa waktu yang lalu. Pemanfaatan teknologi tersebut telah mendorong pertumbuhan bisnis yang pesat, karena berbagai informasi telah dapat disajikan dengan canggih dan mudah diperoleh, dan melalui hubungan jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi telekomunikasi dapat digunakan untuk bahan melakukan langkah bisnis selanjutnya, pihak-pihak yang terkait dalam transaksi tidak perlu bertemu face to face, cukup melalui peralatan komputer dan telekomunikasi, kondisi yang demikian merupakan pertanda dimulainya era siber dalam bisnis.
Perkembangan teknologi khususnya internet, menyebabkan terbentuknya sebuah era baru yang disebut sebagai dunia maya, yang berarti bahwa setiap individu memiliki hak dan kemampuan untuk berhubungan dengan individu yang lain. Internet memberikan manfaat bagi para pelaku bisnis. Internet tidak lagi digunakan perusahaan hanya untuk sekedar mendapatkan informasi, melainkan sudah menjadi bagian penting dalam perusahaan khususnya dalam kegiatan transaksi. Transaksi tidak lagi berlangsung secara manual, namun hanya dengan “klik” transaksi dapat terjadi. Kegiatan bisnis seperti inilah yang dinamakan dengan e-commerce. E-commerce merupakan kegiatan perdagangan yang dilakukan antara dua pihak atau lebih, terjadi adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi yang menggunakan internet sebagai media utama dalam proses atau mekanisme perdagangan tersebut.
Di satu sisi, internet memberikan manfaat bagi para pelaku bisnis yang dapat memungkinkan adanya transaksi secara global. Namun, di sisi lain internet juga tidak terlepas dari adanya kelemahan terutama dalam tindak kejahatan atau kecurangan komputer dan internet. Bukan hanya karena dikerjakan oleh komputer, maka segala kegiatan bisnis berjalan lancar dan benar. E-commerce juga tidak lepas dari adanya kesalahan dan rawan akan tindak kejahatan. Untuk itu, dibutuhkan sistem keamanan yang dapat memberikan jaminan bagi perusahaan yang menjalankan e-commerce. Hal inilah yang menuntut adanya kemampuan baru bagi auditor untuk melaksanakan tugasnya baik auditor internal maupun auditor eksternal.
Adanya hukum siber (cyberlaw) akan membantu pelaku bisnis dan auditor untuk melaksanakan tugasnya. Cyberlaw memberikan rambu-rambu bagi para pengguna internet. Pengguna internet dapat menggunakan internet dengan bebas ketika tidak ada peraturan yang mengikat dan “memaksa”. Namun, adanya peraturan atau hukum yang jelas akan membatasi pengguna agar tidak melakukan tindak kejahatan dan kecurangan dengan menggunakan internet. Bagi auditor, selain menggunakan standar baku dalam mengaudit sistem informasi, hukum yang jelas dan tegas dapat meminimalisasi adanya tindak kejahatan dan kecurangan sehingga memberikan kemudahan bagi auditor untuk melacak tindak kejahatan tersebut. Adanya jaminan keamanan yang diberikan akan menumbuhkan kepercayaan di mata masyarakat pengguna sehingga diharapkan pelaksanaan e-commerce khususnya di Indonesia dapat berjalan dengan baik.
Dan juga saran yang paling utama adalah :
1. Agar ditingkatkan Sumber Daya Manusia para penegak hukum di Indonesia, melalui pelatihan-pelatihan yang secara khusus membahas permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan teknologi informasi khususnya bidang e-commerce.

2. Pemerintah agar mengsosialisasikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet Dan Transaksi Elektronika dna segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai pedoman pelaksana undang-undang tersebut.

Senin, 14 Oktober 2013

PELANGGARAN ETIKA BISNIS YANG TERJADI PADA ERA GLOBALISASI ( #SOFTSKILL )



NAMA            : Taufik Darmawan
NPM               : 19210434
KELAS           : 4EA10


PELANGGARAN ETIKA BISNIS YANG TERJADI PADA ERA GLOBALISASI

A.      Latar Belakang

Globalisasi adalah nama dari revolusi dunia yang hampir menyentuh seluruh sendi kehidupan manusia, bahkan menyentuh relung hati yang paling dalam. Dari sisi ekonomi, globalisasi ditandai dengan adanya kapatilisme pasar bebas. “Mahkluk “ inilah yang menjadi tulang punggung globalisasi. Prinsipnya, semakin kita membiarkan kekuatan pasar berkuasa dan semakin kita membuka perekonomian bagi perdagangan bebas dan kom-petisi, perekonomian anda akan semakin efisien dan berkembang pesat.
Munculnya revolusi industri yang membawa perubahan secara derastis dan sangat penting adalah awal dari globalisasi di bidang ekonomi. Adanya mesin uap menimbulkan perubahan pada pertanian yang tadinya menggunakan bajak, dengan tenaga sapi, kerbau, sekarang diganti dengan traktor dan buldozer yang bertenaga luar biasa. Kemudian muncul pula tenaga kerja yang mulai mnerima upah, dengan demikian penghasilan keluarga menjadi bertambah. Bertambahnya penghasilan keluarga ini, mereka mampu membeli barang lain, yang dibuat orang lain pula. Akhirnya ekonomi tumbuh pesat dan memberi peluang berkembangnya pabrik-pabrik, perdagangan besar, perdagangan eceran, dan perusahan jasa baik perorangan maupun persekutuan.
Globalisasi menyebabkan sistem ekonomi serta sosial negara-negara menjadi terhubung bersama, termasuk di dalamnya barang-barang, jasa, modal, pengetahuan, dan peninggalan budaya yang diperdagangkan dan saling berpindah dari satu negara ke negara lain. Proses ini mempunyai beberapa komponen, termasuk didalamnya penurunan rin-tangan perdagangan dan munculnya pasar terbuka dunia, kreasi komunikasi global dan sistem transportasi seperti internet dan pelayaran global, perkembangan organisasi perdagangan dunia (WTO), bank dunia, IMF, dan lain sebagainya.
Globalisasi dalam dunia bisnis menyebabkan perkembangan ekonomi berkembang dengan pesat. Hal yang terjadi dalam kegiatan ini antara lain tukar menukar, jual beli, memproduksi, memasarkan, dan kegiatan lainnya yang bertujuan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperdulikan etika dan norma berbisnis yang ada. Terjadi demikian dikarenakan adanya persaingan antara perusahan bisnis, baik nasional maupun  multinasional. Perusahaan multinasional ini beroperasi di negara-negara dengan ragam budaya dan standar yang berbeda, banyak klaim yang menyatakan bahwa beberapa perusahaan melanggar norma dan standar yang seharusnya tidak mereka lakukan.
Pelanggaran etika bisnis di era globalisasi ini merupakan hal yang wajar dan biasa saja. Besarnya  perusahaan dan pangsa pasar, tidak menutup kemungkinan terjadinya pelanggaran-pelanggaran etika berbisnis sekalipun telah diawsai dengan ketatnya per-aturan. Banyak pelanggaran etika bisnis yang dilakukan oleh para pembisnis yang tidak bertanggung jawab. Hal ini membuktikan terjadinya persaingan bisnis yang tidak sehat dengan tujuan untuk menguasai pangsa pasar dan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya demi kemajuan perusahaan tanpa memperdulikan etika berbisnis. Menghalalkan segala cara adalah salah satu cara untuk menguasai pangsa pasar dan mencari keuntungan yang besar.  Dengan demikian, untuk mewujudkan bisnis yang menguntungkan dan sehat,  maka etika dan norma bisnis harus dijalankan tanpa harus menghalalkan segla cara bahkan mengorbanak lawan bisnis.
Oleh karen itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang etika bisnis dan bagaimana bisnis yang mguntungkan tanpa melanggar hukum dan aturan bisnis.

B.      Definisi Etika Bisnis
Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos atau taetha yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kebiasaan atau adat istiadat. Oleh filsuf Yunani, Aristoteles, etika digunakan untuk menunjukkan filsafat moral yang menjelaskan fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati. Etika juga dapat didefi-nisikan sebagai A set of rules thet define right and wrong conducts. Seperangkat aturan atau undang-undang yang menentukan pada prilaku benar dan salah.
 Sedangkan bisnis menurut Hughes dan Kapoor ialah business is the organaized effort of individuals to produce and sell for a profit, the goods and services that satisfy sosiety’s needs. The general term business refers to all such effors within a society or withen and industry. Maksudnya bisnis adalah suatu kegiatan  usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara umum kegiatan ini ada dalam masyarakat dan ada dalam industri.
Dari pengertian diatas maka etika bisnis dapat disimpulkan yaitu aplikasi etika umum yang mengatur prilaku bisnis. Norma moralitas merupakan landasan yang menjadi acuan bisnis dalam prilakunya. Dasar prilaku tidak hanya hukum-hukum ekonomi dan mekanisme pasar saja yang mendorong prilaku bisnis itu tetapi nilai moral dan etika juga menjadi acuan penting yang harus dijadikan landasan kebijakannya.
Pengelolaan bisnis dalam konteks pengelolaan secara etik mesti menggunakan landasan norma dan moralitas umum yang berlaku di masyarakat. Penilaian keberhasilan bisnis tidak saja ditentukan oleh keberhasilan prestasi ekonomi dan finansial semata tetapi keberhasilan itu di ukur dengan tolak ukur paradigma moralitas dan nilai-nilai etika terutama pada moralitas dan etika yang dilandasi oleh nilai-nilai soaial dan agama. Tolak ukur ini harus menjadi bagian yang integral dalam menilai keberhasilan suatu bisnis.
Secara ideal memang diharapkan komitmen aplikasi etika bisnis muncul dari dalam bisnis itu sendiri (para pengelola bisnis) seperti para pemilik, manajer, karyawan dan seluruh peran decision maker di dalam bisnis. Perlu melibatkan peran dan kepentingan stake holders lain yang secar etis harus juga diuntungkan (dalam artian diperlakukan secara adil) oleh pengelola bisnis. Oleh karena itu, etika bisnis diaplikasikan di samping oleh prilaku bisnis itu sendiri sebagai komitmen diri yang memang muncul tuntutan dari dalam bisnis itu sendiri sebagai tuntutan profesionalisme pengelola bisnis. Tetapi juga oleh akibat dan tujuan yang akan diraih oleh lingkungan dan sosial yang ikut serta mendukung tujuan bisnis itu sendiri dalam jangka waktu panjang di masa datang.
Etika bisnis dalam implementasinya akan mengacu pada norma dan moralitas di masyarakat di mana bisnis itu eksis atau beroprasi. Oleh karena itu, secara konseptual implementasi etika bisnis di dalam kegiatan bisnis dapat disusun urut-urutannya bahwa etika didasarkan pada norma dan moralitas. Dasar dari etika tersebut maka etika bisnis mendasarkan pada moralitas dan norma, tetapi juga hukum dan peraturan yang berlaku di masyarakat.
 
Etika bisnis lahir di Amerika pada tahun  1970-an kemudian meluas ke Eropa tahun 1980-an dan menjadi fenomena global di tahun 1990-an. Jika sebelumnya hanya para teolog dan agamawan yang membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis, sejumlah filusuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap sebagi suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat. Ironosnya justru negara Amerika yang paling gigih menolak kesepakatan Bali pada pertemuan negara-negara dunia tahun 2007 di Bali. Ketika sebagian besar negara-negara peserta mempermasalahkan etika industri negara-negara maju ysng menjadi penyebab global warming agar dibatasi, Amerika menolaknya. 

C.       Bentuk Pelanggaran yang Terjadi Dalam Dunia Bisnis
Suatu kenyataan skarang ini yang kita hadapi dalam masyarakat adalah tentang prilaku menyimpang dari ajaran agama, moral, dan merosotnya etika bisnis. Tumbuh gejala kurangnya rasa solidaritas, tanggungjawab sosial, tingkat kejujuran, saling curiga, dan sulit percaya kepada seorang pengusaha jika berhubungan untuk pertama kali. Kepercayaan baru terbentuk jika sudah terjadi transaksi beberapa kali. Namun ada saja yang mencari peluang untuk menipu, setelah terjadi hubungan dagang yang mulus dan lancar beberapa kali, dan pembayaran lancar kalau sudah saling percaya. Tapi akhirnya yang astu menipu yang lainnya, memanfaatkan kepercayaan yang baru terbentuk.
 Gejala persaingan yang tidak sehat, menggunakan cek mundur dan cek kosong, utang menunggak tidak dibayar, penyogokan, saling mematikan di antara pesaing dengan cara membuat isu negatif terhadap lawan, dan komersialisasi birokrasi tampaknya merupakan hal biasa. Hal yang kurang etis sering pula dilakukan dalam hal memotong relasi saingan. Apabila seseorang mempunyai langganan setia, kemudian oleh lawannya disaingi dengan menawarkan barang dengan harga yang lebih murah, malah kadang-kadang harga rugi. Ini akan berakibat mematikan saingan dan merugikan diri sendiri dan sama sekali tidak etis.
 Pelanggaran etika atau diabaikannya prilaku etis dijumpai diberbagai bidang pada profesi, antara lain terlihat dalam profesi sebagi berikut:
Pada profesi akuntan misalnya membantu sebuah perusahaan dalam keringanan pajak, seperti mengecilkan jumlah penghasilan dan memperbesar pos biaya. Contoh lain Pelanggaran etika bisnis terhadap hukum adalah sebuah perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan untuk melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu, perusahaan sama sekali tidak memberikan pesongan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas misalnya sebuah RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan yang akan mendaftar PNS secara otomotis dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai salah seorang karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus karena menurut pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola, dalam hal ini direktur, sehingga segala hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus. Pihak Pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut. Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah Sakit.

D.      Berbisnis Dengan Etika Bisnis
Pelaksanaan etika bisnis di masyarakat sangat didambakan oleh semua orang. Namun banyak pula orang yang tidak ingin melaksanakan etika ini secara murni. Mereka masih berusaha melanggar perjanjian, manipulasi dalam segala tindakan. Meraka kurang memahami etika bisnis, atau mungkin saja mereka paham, tetapi memang tidak mau melaksnakan. Etika bisnis sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis, karena hal ini akan mendukung terjadinya persaingan secara sehat di antara para pengusaha. Begitu pen-tingnya etika bisnis maka ada tiga sasaran dan ruang lingkup pokok etika bisnis, yaitu sebagai berikut:
1.        Etika bisnis sebagai etika profesi membahas sebagai prinsip, kondisi, dan masalah yang terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Sasaran ini lebih ditujukan kepada para manajer dan pelaku bisnis, dan sering lebih berbicara mengenai bagaimana perilaku bisnis itu yang baik dan etis, maka dalam lingkupnya yang pertama ini sering kali etika bisnis disebut etika manajemen.
2.        Untuk menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas pemilik aset umum semacam lingkungan hidup, akan hak dan kepentingan mereka yang tidak bolaeh dilanggar oleh praktek bisnis siapapun juga. Pada sasaran ini, etika bisnis bisa menjadi subversif. Subversif karena ia menggugah, mendorong, dan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk tidak dibodoh-bodohi, dirugikan, dan diperlakukan secara tidak adil dan tidak etis oleh praktek bisnis pihak manapun.
3.        Etika bisnis juga berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Lingkup yang ketiga ini, etika bisnis lebih menekankan kerangka legal-politis bagi praktek bisnis yang baik, yaitu pentingnya hukum dan aturan bisnis serta peran pemerintah yang efektif menjamin keberlakuan aturan bisnis tersebut secara konsekuen tanpa pandang bulu.
            Ketiga lingkup dan saaran etika bisnis ini berkaitan erat satu dengan yang lainnya, dan bersama-sama menetukan baik tidaknya, etis tidaknya, praktek bisnis. Dengan demikian, praktek bisnis diharapkan lebih mementingkan etika dan moral tidak hanya merugikan satu pihak tapi dapat menciptakan bisnis yang beretika, sehingga satu sama lain saling diuntungkan.
Untuk menciptakan suasana bisnis yang sesuai dengan etika bisnis, maka ada beberapa pinsip yang harus dijalanakan oleh para pelaku bisnis, yaitu sebagai berikut:
1.        Prinsip otonomi
Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertidak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggap baik untuk dilakukan. Orang bisnis yang otonom adalah orang yang sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajiban dalam dunia bisnis. Ia tahu mengenai bidang kegiatannya, situasi yang dihadapinya, apa yang diharapkan dirinya, tuntutan dan aturan yang berlaku bagi bidang kegiatannya, sadar dan tahu akan keputusan dan tindakan yang akan diambilnya serta resiko atau akibat yang akan timbul baik bagi dirinya dan perusahaan maupun pihak lain.
2.        Prinsip kejujuran
 Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
3.        Prinsip keadilan
Prinsip keadilan menuntut agar setiap orang dalam kegiatan bisnis entah dalam relasi eksternal maupun relasi internal perusahaan perlu diperlakukan sesuai denagn haknya masing-masing. Keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.
4.        Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle)
Prinsip ini menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa, sehingga menguntngkan semua pihak. Dalam bisnis yang kompetitif, prinsip ini menuntut agar persaingan bisnis haruslah melahirkan suatu win-win situation.
5.        Prinsip integritas moral
Prinsip ini terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baiknya maupun perusahaannya. Dengan kata lain, prinsip ini merupakan tuntutan dan dorongan dari dalam diri pelaku dan perusahaan untuk menjadi yang terbaik dan dibanggakan.
Kelima prinsip ini menjadi dasar dan jiwa dari semua aturan bisnis, dan sebaiknya semua praktek bisnis yang bertentanag dengan kelima prinsip ini harus dilarang. Misalnya, monopoli, kolusi, nepotisme, manipulasi, hak istimewa, perlindungan politik, dan sete-ruanya harus dilarang karena bertentangan dengan prinsip-prinsip etika bisnis. Denagan demikian, apabila semua pelaku bisnis sadar dan menjalankan prinsip-prinsip bisnis tersebut, maka hal ini akan menimbulkan suasana bisnis yang kondusif, saling mengun-tungkan, dan berbisnis sesuai dengan etika bisnis.