Senin, 25 November 2013

PERUSAHAAN YANG TELAH MENERAPKAN UTILITARIANISME


NAMA       : TAUFIK DARMAWAN
KELAS      : 3EA10
NPM           : 19210434

Perusahaan yang Telah Menerapkan Utilitarianisme atau CSR

ETIKA PERUSAHAAN UTILITARIANISME (#SOFTSKILL)

Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Persoalan yang dihadapi oleh Bentham dan orang-orang sezamannya adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral. Singkatnya, bagaimana menilai sebuah kebijaksanaan publik, yaitu kebijaksanaan yang punya dampak bagi kepentingan banyak orang, secara moral.

1. Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme
Criteria pertama adalah manfaat , yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi, kebijaksanaan atau tindakan yang baik adalah yang menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu.
Criteria kedua adalah manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar (atau dalam situasi tertentu lebih besar)dibandingkan dengan kebijaksanaan atau tindakan alternative lainnya.
Criteria ketiga adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, yaitu dengan kata lain suatu kebijaksanaan atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis menurut etika utilitarianisme adalah kebijaksanaan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau sebaliknya membawa akibat merugikan yang sekecil mungkin bagi sedikit mungkin orang.
Secara padat ketiga prinsip itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu mendatangkan keuntungan sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang.

2. Nilai Positif Etika Utilitarianisme
a)   Rasionalitas, prinsip moral yang diajukan oleh etika utilitarianisme ini tidak didasarkan pada aturan-aturan kaku yang mungkin tidak kita pahami dan yang tidak bias kita persoalkan keabsahannya.
b)   Dalam kaitannya dengan itu, utilitarianisme sangant menghargai kebebasan setiap pelaku moral. Setiap orang dibiarkan bebas untuk mengambil keputusan dan bertindak dengan hanya memberinya ketiga criteria objektif dan rasional tadi.
c)    Universalitas, yaitu berbeda dengan etika teleologi lainnya yang terutama menekankan manfaat bagi diri sendiri atau kelompok sendiri, utilitarianisme justru mengutamakan manfaat atau akibat baik dari suatu tindakan bagi banyak orang.

 3.Utilitarianisme sebagai Proses dan sebagai Standar Penilaian
a)   Etika utilitarianisme dipakai sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan, kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak. Dengan kata lain, etika utilitarianisme dipakai sebagai prosedur untuk mengambil keputusan. Ia menjadi sebuah metode untuk bisa mengambil keputusan yang tepat tentang tindakan atau kebijaksanaan yang akan dilakukan.
b)   Etika utilitarianisme juga dipakai sebagai standar penilaian bai tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan. Dalam hal ini, ketiga criteria di atas lalu benar-benar dipakai sebagai criteria untuk menilai apakah suatu tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan memang baik atau tidak. Yang paling pokok adalah menilai tindakan atau kebijaksanaan yang telah terjadi berdasarkan akibat atau konsekuensinya yaitu sejauh mana ia mendatangkan hasil terbaik bagi banyak orang.

4. Analisis Keuntungan dan Kerugian
Pertama, keuntungan dan kerugian (cost and benefits) yang dianalisis jangan semata-mata dipusatkan pada keuntungan dan kerugian bagi perusahaan,  kendati benar bahwa ini sasaran akhir. Yang juga perlu mendapat perhatian adalah keuntungan dan kerugian bagi banyak pihak lain yang terkait dan berkepentingan, baik kelompok primer maupun sekunder. Jadi, dalam analisis ini perlu juga diperhatikan bagaimana daan sejauh mana suatu kebijaksanaan dan kegiatan bisnis suatu perusahaan  membawa akibat yang menguntungkan dan merugikan bagi kreditor, konsumen, pemosok, penyalur, karyawan, masyarakat luas, dan seterusnya. Ini berarti etika utilitarianisme sangat sejalan dengan apa yang telah kita bahas sebagai pendekatan stakeholder.
Kedua, seringkali terjadi bahwa analisis keuntungan dan kerugian ditempatkan dalam kerangka uang (satuan yang sangat mudah dikalkulasi). Yang juga perlu mendapat perhatian serius adalah bahwa keuntungan dan kerugian disini tidak hanya menyangkut aspek financial, melainkan juga aspek-aspek moral; hak dan kepentingan konsimen, hak karyawan, kepuasan konsumen, dsb. Jadi, dalam kerangka klasik etika utilitarianisme, manfaat harus ditafsirkan secara luas dalam kerangka kesejahteraan, kebahagiaan, keamanan sebanyak mungkin pihhak terkait yang berkepentingan.
Ketiga¸bagi bisnis yang baik, hal yang juga mendapat perhatian dalam analisis keuntungan dan kerugian adalah keuntungan dan kerugian dalam jangka panjang. Ini penting karena bias saja dalam jangka pendek sebuah kebijaksanaan dan tindakan bisnis tertentu sangat menguntungkan, tapi ternyata dalam jangka panjang merugikan atau paling kurang tidak memungkinkan perusahaan itu bertahan lama. Karena itu, benefits yang menjadi sasaran utama semua perusahaan adalah long term net benefits.
Sehubungan dengan ketiga hal tersebut, langkah konkret yang perlu dilakukan dalam membuat sebuah kebijaksanaan bisnis adalah mengumpulkan dan mempertimbangkan alternative kebijaksanaan bisnis sebanyak-banyaknya. Semua alternative kebijaksanaan dan kegiatan itu terutama dipertimbangkan dan dinilai dalam kaitan dengan manfaat bagi kelompok-kelompok terkait yang berkepentingan atau paling kurang, alternatif yang tidak merugikan kepentingan semua kelompok terkait yang berkepentingan. Kedua, semua alternative pilihan itu perlu dinilai berdasarkan keuntungan yang akan dihasilkannya dalam kerangka luas menyangkut aspek-aspek moral. Ketiga, neraca keuntungan dibandingkan dengan kerugian, dalam aspek itu, perlu dipertimbagkan dalam kerangka jangka panjang. Kalau ini bias dilakukan, pada akhirnya ada kemungkinan besar sekali bahwa kebijaksanaan atau kegiatan yang dilakukan suatu perusahaan tidak hanya menguntungkan secara financial, melainkan juga baik dan etis.

Kelemahan Etika Utilitarianisme
a. Manfaat merupakan konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis akan menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit.
b. Etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan niali suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya.
c. Etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius kemauan baik seseorang.
d. Variable yang dinilai tidak semuanya dapat dikualifikasi.
e. Seandainya ketiga criteria dari etika utilitarianisme saling bertentangan, maka akan ada kesulitan dalam menentukan prioritas di antara ketiganya.
f. Etika utilitarianisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan mayoritas.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau CSR (corporate social responsibility)

kini jadi frasa yang semakin populer dan marak diterapkan perusahaan di berbagai belahan dunia. Menguatnya terpaan prinsip good corporate governance seperti fairness, transparency, accountability, dan responsibility telah mendorong CSR semakin menyentuh “jantung hati” dunia bisnis.

Di tanah air, debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No. 40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).

Namun, UU PT tidak menyebutkan secara terperinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3, dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR “dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran.” PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diatur oleh peraturan pemerintah yang hingga kini belum dikeluarkan.

Akibatnya, standar operasional mengenai bagaimana menjalankan dan mengevaluasi kegiatan CSR masih diselimuti kabut misteri. Selain sulit diaudit, CSR juga menjadi program sosial yang “berwayuh” wajah dan mengandung banyak bias.

Banyak perusahaan yang hanya membagikan sembako atau melakukan sunatan massal setahun sekali telah merasa melakukan CSR. Tidak sedikit perusahaan yang menjalankan CSR berdasarkan copy-paste design atau sekadar “menghabiskan” anggaran. Karena aspirasi dan kebutuhan masyarakat kurang diperhatikan, beberapa program CSR di satu wilayah menjadi seragam dan seringkali tumpang tindih.

Walhasil, alih-alih memberdayakan masyarakat, CSR malah berubah menjadi Candu (menimbulkan kebergantungan pada masyarakat), Sandera (menjadi alat masyarakat memeras perusahaan), dan Racun (merusak perusahaan dan masyarakat).

Perusahaan yang Telah Menerapkan Utilitarianisme atau CSR

Sejak didirikan pada 5 Desember 1933Unilever Indonesia telah tumbuh menjadi salah satu perusahaan terdepan untuk produk Home and Personal Care serta Foods & Ice Cream di Indonesia. Rangkaian Produk Unilever Indonesia mencangkup brand-brand ternama yang disukai di dunia seperti Pepsodent, Lux, Lifebuoy, Dove, Sunsilk, Clear, Rexona, Vaseline, Rinso, Molto, Sunlight, Walls, Blue Band, Royco, Bango, dan lain-lain.

Selama ini, tujuan perusahaan kami tetap sama, dimana kami bekerja untuk menciptakan masa depan yang lebih baik setiap hari; membuat pelanggan merasa nyaman, berpenampilan baik dan lebih menikmati kehidupan melalui brand dan jasa yang memberikan manfaat untuk mereka maupun orang lain; menginspirasi masyarakat untuk melakukan tindakan kecil setiap harinya yang bila digabungkan akan membuat perubahan besar bagi dunia; dan senantiasa mengembangkan cara baru dalam berbisnis yang memungkinkan kami untuk tumbuh sekaligus mengurangi dampak lingkungan.

Saham perseroan pertamakali ditawarkan kepada masyarakat pada tahun 1981 dan tercatat di Bursa Efek Indonesia seja 11 Januari 1982. Pada akhir tahun 2011, saham perseroan menempati peringkat keenam kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia. Cleaning productPerseroan memiliki dua anak perusahaan : PT Anugrah Lever (dalam likuidasi), kepemilikan Perseroan sebesar 100% (sebelumnya adalah perusahaan patungan untuk pemasaran kecap) yang telah konsolidasi dan PT Technopia Lever, kepemilikan Perseroan sebesar 51%, bergerak di bidang distribusi ekspor, dan impor produk dengan merek Domestos Nomos.

Bagi Unilever, sumber daya manusia adalah pusat dari seluruh aktivitas perseroan. Kami memberikan prioritas pada mereka dalam pengembangan profesionalisme, keseimbangan kehidupan, dan kemampuan mereka untuk berkontribusi pada perusahaan. Terdapat lebih dari 6000 karyawan tersebar di seluruh nutrisi.
Perseroan mengelola dan mengembangkan bisnis perseroan secara bertanggung jawab dan berkesinambungan. Nilai-nilai dan standar yang Perseroan terapkan terangkum dalam Prinsip Bisnis Kami. Perseroan juga membagi standar dan nilai-nilai tersebut dengan mitra usaha termasuk para pemasok dan distributor kami. Perseroan memiliki enam pabrik di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang, Bekasi, dan dua pabrik di Kawasan Industri Rungkut, Surabaya, Jawa Timur, dengan kantor pusat di Jakarta. Produk-produk Perseroan berjumlah sekitar 43 brand utama dan 1,000 SKU, dipasarkan melalui jaringan yang melibatkan sekitar 500 distributor independen yang menjangkau ratusan ribu toko yang tersebar di seluruh Indoneisa. Produk-produk tersebut didistribusikan melalui pusat distribusi milik sendiri, gudang tambahan, depot dan fasilitas distribusi lainnya.

Sebagai perusahaan yang mempunyai tanggung jawab sosial, Unilever Indonesia menjalankan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang luas. Keempat pilar program kami adalah Lingkungan, Nutrisi, Higiene dan Pertanian Berkelanjutan. Program CSR termasuk antara lain kampanye Cuci Tangan dengan Sabun (Lifebuoy), program Edukasi kesehatan Gigi dan Mulut (Pepsodent), program Pelestarian Makanan Tradisional (Bango) serta program Memerangi Kelaparan untuk membantu anak Indonesia yang kekurangan gizi (Blue Band).

Unilever Indonesia Memiliki Visi :

Empat pilar utama dari visi kami menggambarkan arah jangka panjang dari perusahaan  kemana tujuan kami dan bagaimana kami menuju ke arah sana.
     a) Kami bekerja untuk membangun masa depan yang lebih baik setiap hari
     b) Kami membantu orang-orang merasa nyaman, berpenampilan baik dan lebih menikmati kehidupan dengan brand dan pelayanan yang baik bagi mereka dan bagi orang lain.
     c) Kami menjadi sumber inspirasi orang-orang untuk melakukan hal kecil setiap hari yang dapat membuat perbedaan besar bagi dunia
     d) Kami akan mengembangkan cara baru dalam melakukan bisnis dengan tujuan membesarkan perusahaan kami dua kali lipat sambil mengurangi dampak lingkungan

Kami selalu percaya akan kekuatan brand kami dalam meningkatkan kualitas kehidupan orang-orang dan dalam melakukan hal yang benar. Semakin bertumbuhnya bisnis kami, meningkat pula tanggung jawab kami. Kami mengenali tantangan global seperti perubahan iklim yang menjadi kepedulian kita bersama. Mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari tindakan kami selalu menyatu dalam nilai-nilai kami dan merupakan bagian fundamental mengenai siapa diri kami.


5.  Jalan Keluar
Tanpa ingin memasuki secara lebih mendalam persoalan ini, ada baiknya kita secara khusus mencari  beberapa jalan keluar yang mungkin berguna bagi bisnis dalam menggunakan etika utilitarianisme yang memang punya daya tarik istimewa ini. Yang perlu diakui adalah bahwa tidak mungkin mungkin kita memuaskan semua pihak secara sama dengan tingkat manfaat yang sama isi dan bobotnya. Hanya saja, yang  pertama-tama harus dipegang adalah bahwa kepentingan dan hak semua orang harus diperhatikan, dihormati, dan diperhitungkan secara sama. Namun, karena kenyataan bahwa kita tidak bisa memuaskan semua pihak secara sama dengan tingkat manfaat yang sama isi dan bobotnya, dalam situasi tertentu kita memang terpaksa harus memilih di antara alternative yang tidak sempurna itu. Dalam hal ini, etika utilitarianisme telah menberi kita criteria paling objektif dan rasional untuk memilih diantara berbagai alternative yang kita hadapi, kendati mungkin bukan paling sempurna.
Karena itu, dalam situasi di mana kita terpaksa mengambil kebijaksanaan dan tindakan berdasarkan etika utilitarianisme, yang mengandung beberapa kesulitan dan kelemahhan tersebut di atas, beberapa hal ini kiranya perlu diperhatikan.
a) Dalam banyak hal kita perlu menggunakan perasaan atau intuisi moral kita untuk mempertimbangkan secara jujur apakah tindakan yang kita ambil itu, yang memenuhi criteria etika utilitarianisme diatas, memang manusiawi atau tidak.
b) Dalam kasus konkret di mana kebijaksanaan atau tindakan bisnis tertentu yang dalam jangka panjang tidak hanya menguntungkan perusahaan tetapi juga banyak pihak terkait, termasuk secara moral, tetapi ternyata ada pihak tertentu yang terpaksa dikorbankan atau dirugikan secara tak terelakkan, kiranya pendekatan dan komunikasi pribadi akan merupakan sebuah langkah yang punya nilai moral tersendiri.

Senin, 04 November 2013

E-COMMERCE DALAM KEJAHATAN BISNIS ( #SOFTSKILL )


PELANGGARAN ETIKA KORPORASI DALAM BIDANG KOMPUTER

E-COMMERCE DALAM KEJAHATAN BISNIS

A. Pengertian e-commerce
Definisi dari “E-Commerce” sendiri sangat beragam, tergantung dari perspektif atau kacamata yang memanfaatkannya. Association for Electronic Commerce secara sederhana mendifinisikan E-Commerce sebagai “mekanisme bisnis secara elektronis”. CommerceNet, sebuah konsorsium industri, memberikan definisi yang lebih lengkap, yaitu “penggunaan jejaring komputer (komputer yang saling terhubung) sebagai sarana penciptaan relasi bisnis”. Tidak puas dengan definisi tersebut, CommerceNet menambahkan bahwa di dalam E-Commerce terjadi “proses pembelian dan penjualan jasa atau produk antara dua belah pihak melalui internet atau pertukaran dan distribusi informasi antar dua pihak di dalam satu perusahaan dengan menggunakan intranet”.
E-Commerce sebagai “suatu jenis dari mekanisme bisnis secara elektronis yang memfokuskan diri pada transaksi bisnis berbasis individu dengan menggunakan internet sebagai medium pertukaran barang atau jasa baik antara dua buah institusi maupun antar institusi dan konsumen langsung”. Beberapa kalangan akademisi pun sepakat mendefinisikan E-Commerce sebagai “salah satu cara memperbaiki kinerja dan mekanisme pertukaran barang, jasa, informasi, dan pengetahuan dengan memanfaatkan teknologi berbasis jaringan peralatan digital.
Perkembangan teknologi informasi terutama internet, merupakan faktor pendorong perkembangan e-commerce. Internet merupakan jaringan global yang menyatukan jaringan komputer di seluruh dunia, sehingga memungkinkan terjalinnya komunikasi dan interaksi antara satu dengan yang lain diseluruh dunia. Dengan menghubungkan jaringan komputer perusahaan dengan internet, perusahaan dapat menjalin hubungan bisnis dengan rekan bisnis atau konsumen secara lebih efisien. Sampai saat ini internet merupakan infrastruktur yang ideal untuk menjalankan e-commerce, sehingga istilah E-Commerce pun menjadi identik dengan menjalankan bisnis di internet.
Pertukaran informasi dalam E-Commerce dilakukan dalam format dijital sehingga kebutuhan akan pengiriman data dalam bentuk cetak dapat dihilangkan. Dengan menggunakan sistem komputer yang saling terhubung melalui jaringan telekomunikasi, transaksi bisnis dapat dilakukan secara otomatis dan dalam waktu yang singkat. Akibatnya informasi yang dibutuhkan untuk keperluan transaksi bisnis tersedia pada saat diperlukan. Dengan melakukan bisnis secara elektronik, perusahaan dapat menekan biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan pengiriman informasi. Proses transaksi yang berlangsung secara cepat juga mengakibatkan meningkatnya produktifitas perusahaan.
Dengan menggunakan teknologi informasi, E-Commerce dapat dijadikan sebagai solusi untuk membantu perusahaan dalam mengembangkan perusahaan dan menghadapi tekanan bisnis. Tingginya tekanan bisnis yang muncul akibat tingginya tingkat persaingan mengharuskan perusahaan untuk dapat memberikan respon. Penggunaan E-Commerce dapat meningkatkan efisiensi biaya dan produktifitas perusahaan, sehingga dapat meningkatkan kemampuan perusahaan dalam bersaing.
Dalam e-commerce, sistem pembayaran yang diguanakan adalah antara lain menggunakan :
1) Tunai atau electronic cash.
2) Sistem debit.
3) Sistem kredit
4) Digital Cash
5) CyberCash
6) First Virtual
7) NetChex
8). E-Gold

B. Permasalahan Mendasar dalam e-commerce.
Permasalahan-permasalahan yang mendasar dalam e-commerce adalah sebagai berikut :
1. Permasalahan yang bersifat substantif :
a). Keaslian data message dan digital signature.
b). Keabsahan (Validity).
c.). Kerahasiaan (Privacy)
d). Keamanan (Security)
e). Ketersediaan (availability).

2. Permasalahan yang bersifat prosedural.
Yaitu pengakuan dan daya mengikat putusan hakim dari negara lain untuk diberlakukan dan dilaksanakan di negeri lawan, sekalipun hal ini memakai instrumen-instrumen internasional.
Sepanjang menyangkut permasalahan-permasalahan pidana, suatu negara memiliki jurisdiksi sebagai berikut :
a).  Jurisdiksi dengan prinsip teritorial yaitu setiap negara mempunyai jurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan diwilayahnya, terhadap setiap orang dan setiap benda yang berada dalam wilayahnya.
b). Jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan atau kebangsaan
c).  Jurisdiksi berdasarkan perlingdungan kepentingan penting negara. Berdasarkan prinsip ini, suatu negara dapat melaksanakan jurisdiksinya terhadap warga negara lain yang melakukan kejahatan di luar negeri yang bisa mengancam kepentingan keamanan, kemerdekaan dan integritasnya.
d).  Yurisdiksi Universal, yaitu bahwa setiap negara mempunyai jurisdiksi untuk mengadili tindak kejahatan tertentu apabila kejahatan tersebut mengancam atau memiliki karakter membahayakan rakyat internasional tanpa melihat siapa pelaku,

Contoh Kasus  dalam e-Commerce :

Dalam beberapa dekade terakhir ini, banyak sekali perbuatan-perbuatan pemalsuan (forgery) terhadap surat-surat dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan bisnis. Perbuatan-perbuatan pemalsuan surat itu telah merusak iklim bisnis di Indonesia. Dalam KUH Pidana memang telah terdapat Bab khusus yaitu Bab XII yang mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan pemalsuan surat, tetapi ketentuan-ketentuan tersebut sifatnya masih sangat umum.  Pada saat ini surat-surat dan dokumen-dokumen yang dipalsukan itu dapat berupa electronic document yang dikirimkan atau yang disimpan di electronic files badan-badan atau institusi-institusi pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Seyogyanya Indonesia memiliki ketentuan-ketentuan pidana khusus yang berkenaan dengan pemalsuan surat atau dokumen dengan membeda-bedakan jenis surat atau dokumen pemalsuan, yang merupakan lex specialist di luar KUH Pidana.
Di Indonesia pernah terjadi kasus cybercrime yang berkaitan dengan kejahatan bisnis, tahun 2000 beberapa situs atau web Indonesia diacak-acak oleh cracker yang menamakan dirinya Fabianclone dan naisenodni. Situs tersebut adalah antara lain milik BCA, Bursa Efek Jakarta dan Indosatnet (Agus Raharjo, 2002.37).
Selanjutnya pada bulan September dan Oktober 2000, seorang craker dengan julukan fabianclone berhasil menjebol web milik Bank Bali. Bank ini memberikan layanan internet banking pada nasabahnya. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan mengakibatkan terputusnya layanan nasabah (Agus Raharjo 2002:38).
Kejahatan lainnya yang dikategorikan sebagai cybercrime dalam kejahatan bisnis adalah Cyber Fraud, yaitu kejahatan yang dilakukan dengan melakukan penipuan lewat internet, salah satu diantaranya adalah dengan melakukan kejahatan terlebih dahulu yaitu mencuri nomor kartu kredit orang lain dengan meng-hack atau membobol situs pada internet.
Menurut riset yang dilakukan perusahaan Security Clear Commerce yang berbasis di Texas, menyatakan Indonesia berada di urutan kedua setelah Ukraina (Shintia Dian Arwida. 2002).
Cyber Squalling, yang dapat diartikan sebagai mendapatkan, memperjualbelikan, atau menggunakan suatu nama domain dengan itikad tidak baik atau jelek. Di Indonesia kasus ini pernah terjadi antara PT. Mustika Ratu dan Tjandra, pihak yang mendaftarkan nama domain tersebut (Iman Sjahputra, 2002:151-152).
Satu lagi kasus yang berkaitan dengan cybercrime di Indonesia, kasus tersebut diputus di Pengadilan Negeri Sleman dengan Terdakwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok. Dalam kasus tersebut, terdakwa didakwa melakukan Cybercrime. Dalam amar putusannya Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok telah membobol kartu kredit milik warga Amerika Serikat, hasil kejahatannya digunakan untuk membeli barang-barang seperti helm dan sarung tangan merk AGV. Total harga barang yang dibelinya mencapai Rp. 4.000.000,- (Pikiran Rakyat, 31 Agustus 2002).
Namun, beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan cybercrime dalam kejahatan bisnis jarang yang sampai ke meja hijau, hal ini dikarenakan masih terjadi perdebatan tentang regulasi yang berkaitan dengan kejahatan tersebut. Terlebih mengenai UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronika yang sampai dengan hari ini walaupun telah disahkan pada tanggal 21 April 2008 belum dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk sebagai penjelasan dan pelengkap terhadap pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
Disamping itu banyaknya kejadian tersebut tidak dilaporkan oleh masyarakat kepada pihak kepolisian sehingga cybercrime yang terjadi hanya ibarat angin lalu, dan diderita oleh sang korban.

A. KESIMPULAN
1. Definisi dari “E-Commerce” sendiri sangat beragam, tergantung dari perspektif atau kacamata yang memanfaatkannya. Association for Electronic Commerce secara sederhana mendifinisikan E-Commerce sebagai “mekanisme bisnis secara elektronis”. CommerceNet, sebuah konsorsium industri, memberikan definisi yang lebih lengkap, yaitu “penggunaan jejaring komputer (komputer yang saling terhubung) sebagai sarana penciptaan relasi bisnis”. Tidak puas dengan definisi tersebut, CommerceNet menambahkan bahwa di dalam E-Commerce terjadi “proses pembelian dan penjualan jasa atau produk antara dua belah pihak melalui internet atau pertukaran dan distribusi informasi antar dua pihak di dalam satu perusahaan dengan menggunakan intranet”.
2. Permasalahan –permasalahan yang mendasar dalam  e-commerce antara lain :
Pertama, di dalam dunia maya, virtualisasi merupakan konsep utama yang mendasari bentuk dan struktur sebuah perusahaan. Di dalam perusahaan virtual, aset-aset yang bersifat fisik sedapat mungkin ditiadakan. Para pelanggan yang ada di seluruh dunia tidak berhadapan dengan institusi melalui transaksi fisik yang melibatkan bangunan, orang, dan benda-benda riil lainnya, melainkan hanya berhadapan dengan sebuah situs elektronik. Cukup dengan uang $35 setahun (untuk memesan sebuah domain alamat), sebuah perusahaan dapat berdiri dan menawarkan jasa atau produknya ke berbagai negara, tanpa harus dibebani dengan berbagai urusan administratif. Penerapan pasal-pasal cyberlaw yang mempersulit pendirian sebuah perusahaan akan mengurangi niat pemain-pemain baru untuk mendirikan perusahaan virtual, yang artinya akan membuat lesu industri di dunia maya.
Kedua, model bisnis yang diterapkan cenderung menghilangkan segala bentuk mediasi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena melalui jaringan internet, individu dapat dengan mudah melakukan transaksi dengan individu lain (atau antar perusahaan) secara cepat. Fenomena ini adalah bentuk sederhana dari sebuah pasar bebas dimana kedua pihak yang bertransaksi secara sadar melakukan pertukaran jasa atau produk dengan resiko yang disadari bersama. Penerapan pasal-pasal cyberlaw yang mengurangi keuntungan maksimum yang selama ini didapatkan oleh kedua belah pihak yang melakukan transasksi akan berakibat berkurangnya frekuensi dan volume bisnis di internet.
Ketiga, batasan antara produsen dan konsumen menjadi kabur. Istilah yang berkembang adalah “prosumer” karena model bisnis yang ada di dunia maya memungkinkan seseorang untuk menjadi produsen dan konsumen pada saat yang bersamaan (seperti kasus keanggotaan American Online, E-Groups, Geocities, dsb.). Penerapan pasal-pasal cyberlaw yang mendasarkan diri pada sistem ekonomi konvensional (seperti hukum permintaan dan penawaran) akan mencegah tumbuhnya berbagai model bisnis yang selama ini menjadi daya tarik dan keunggulan dari dunia maya.
Keempat, adalah suatu kenyataan bahwa sebuah perusahaan virtual tidak dapat mengerjakan seluruh bisnisnya sendiri, melainkan harus melakukan kerja sama dengan berbagai perusahaan virtual lainnya (seperti merchants, content providers, technology vendors, dsb.). Hal ini berakibat adanya ketergantungan antar perusahaan di internet yang sangat tinggi. Penerapan pasal-pasar cyberlaw yang mempermudah sebuah perusahaan untuk gulung tikar akan berakibat runtuhnya bisnis beberapa perusahaan lain yang bergantung padanya.
Kelima, sumber daya utama yang mutlak dibutuhkan dalam proses penciptaan produk dan jasa adalah pengetahuan (knowledge). Karena pengetahuan pada dasarnya melekat pada sumber daya manusia (unsur-unsur kreativitas, intelektualitas, emosional, dsb.), tidak mengenal batasan negara, dan mudah dipertukarkan maupun dikomunikasikan, maka segala bentuk proteksi menjadi tidak relevan dan efektif untuk diterapkan. Penerapan pasal-pasal cyberlaw yang bersifat membatasi dan mengekang individu untuk mempergunakan atau mempertukarkan pengetahuan yang dimilikinya akan berdampak berkurangnya jenis produk atau jasa yang mungkin diciptakan.
Dari kelima prinsip utama di atas terlihat bahwa perumusan dan pengembangan cyberlaw harus dilakukan secara ekstra hati-hati. Dunia maya merupakan satu-satunya arena bisnis saat ini yang telah menerapkan konsep pasar bebas dan globalisasi informasi secara hampir sempurna. Keberadaan cyberlaw pada dasarnya sangat dibutuhkan bukan semata-mata untuk melindungi hak-hak konsumen atau menegakkan keadilan dalam aturan main bisnis, namun lebih jauh untuk mencegah terjadinya “chaos” di dunia maya. Karena walau bagaimanapun, kekacauan di dunia maya akan berdampak secara langsung terhadap kehidupan manusia di dunia nyata.
3.  Penerapan cyberlaw yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ekonomi digital dapat berakibat tidak berkembangnya model transaksi bisnis modern ini. Pemikiran mengenai cyberlaw ada baiknya untuk mulai dibuka dan dipandang serius. Hal ini sangat perlu dilakukan mengingat banyaknya para praktisi hukum, manajemen, bisnis, dan teknologi informasi yang ingin buru-buru menyusun dan membuat konsepnya tanpa pemahaman yang lengkap dan memadai mengenai konsep perdagangan elektronik, atau yang lebih dikenal sebagai e-commerce. Gagal memahami dan mengerti mengenai bagaimana konsep bisnis di dunia maya terjadi dapat membuat keberadaan cyberlaw menjadi kontraproduktif. Implementasi cyberlaw yang pada mulanya ditujukan untuk menggairahkan bisnis e-commerce tidak mustahil malah berdampak sebaliknya, yaitu mematikan pertumbuhan konsep bisnis yang sedang menjadi trend di berbagai belahan dunia. E-commerce merupakan salah satu varian dari e-business yang hanya akan secara efektif beroperasi jika prinsip-prinsip ekonomi digital dipenuhi.
4. Kasus-kasus cybercrime dalam bidang e-commerce sebenarnya banyak sekali terjadi, namun ditengah keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia dibidang penyelidikan dan penyidikan, banyak kasus-kasus yang tidak terselesaikan bahkan tidak sempat dilaporkan oleh korban.

Penyelesaian Menurut Saya :
Teknologi telah berkembang pesat dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk bisnis. Perkembangan teknologi komputer, telekomunikasi dan informasi telah berjalan sedemikian rupa, sehingga kondisi pada saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan beberapa waktu yang lalu. Pemanfaatan teknologi tersebut telah mendorong pertumbuhan bisnis yang pesat, karena berbagai informasi telah dapat disajikan dengan canggih dan mudah diperoleh, dan melalui hubungan jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi telekomunikasi dapat digunakan untuk bahan melakukan langkah bisnis selanjutnya, pihak-pihak yang terkait dalam transaksi tidak perlu bertemu face to face, cukup melalui peralatan komputer dan telekomunikasi, kondisi yang demikian merupakan pertanda dimulainya era siber dalam bisnis.
Perkembangan teknologi khususnya internet, menyebabkan terbentuknya sebuah era baru yang disebut sebagai dunia maya, yang berarti bahwa setiap individu memiliki hak dan kemampuan untuk berhubungan dengan individu yang lain. Internet memberikan manfaat bagi para pelaku bisnis. Internet tidak lagi digunakan perusahaan hanya untuk sekedar mendapatkan informasi, melainkan sudah menjadi bagian penting dalam perusahaan khususnya dalam kegiatan transaksi. Transaksi tidak lagi berlangsung secara manual, namun hanya dengan “klik” transaksi dapat terjadi. Kegiatan bisnis seperti inilah yang dinamakan dengan e-commerce. E-commerce merupakan kegiatan perdagangan yang dilakukan antara dua pihak atau lebih, terjadi adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi yang menggunakan internet sebagai media utama dalam proses atau mekanisme perdagangan tersebut.
Di satu sisi, internet memberikan manfaat bagi para pelaku bisnis yang dapat memungkinkan adanya transaksi secara global. Namun, di sisi lain internet juga tidak terlepas dari adanya kelemahan terutama dalam tindak kejahatan atau kecurangan komputer dan internet. Bukan hanya karena dikerjakan oleh komputer, maka segala kegiatan bisnis berjalan lancar dan benar. E-commerce juga tidak lepas dari adanya kesalahan dan rawan akan tindak kejahatan. Untuk itu, dibutuhkan sistem keamanan yang dapat memberikan jaminan bagi perusahaan yang menjalankan e-commerce. Hal inilah yang menuntut adanya kemampuan baru bagi auditor untuk melaksanakan tugasnya baik auditor internal maupun auditor eksternal.
Adanya hukum siber (cyberlaw) akan membantu pelaku bisnis dan auditor untuk melaksanakan tugasnya. Cyberlaw memberikan rambu-rambu bagi para pengguna internet. Pengguna internet dapat menggunakan internet dengan bebas ketika tidak ada peraturan yang mengikat dan “memaksa”. Namun, adanya peraturan atau hukum yang jelas akan membatasi pengguna agar tidak melakukan tindak kejahatan dan kecurangan dengan menggunakan internet. Bagi auditor, selain menggunakan standar baku dalam mengaudit sistem informasi, hukum yang jelas dan tegas dapat meminimalisasi adanya tindak kejahatan dan kecurangan sehingga memberikan kemudahan bagi auditor untuk melacak tindak kejahatan tersebut. Adanya jaminan keamanan yang diberikan akan menumbuhkan kepercayaan di mata masyarakat pengguna sehingga diharapkan pelaksanaan e-commerce khususnya di Indonesia dapat berjalan dengan baik.
Dan juga saran yang paling utama adalah :
1. Agar ditingkatkan Sumber Daya Manusia para penegak hukum di Indonesia, melalui pelatihan-pelatihan yang secara khusus membahas permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan teknologi informasi khususnya bidang e-commerce.

2. Pemerintah agar mengsosialisasikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet Dan Transaksi Elektronika dna segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai pedoman pelaksana undang-undang tersebut.